Minggu, 05 Juli 2020

Mulianya Perempuan Tanah

Doc. Perempuan Tanah Papua
Dalam pikiran yang penuh tanya terpikir, kenapa tanah air disebut ibu pertiwi bukan bapak pertiwi? Pusat pemerintahan disebut Ibu kota bukan bapak kota? Leluhur disebut nenek moyang bukan bapak moyang? Jari yang ukurannya paling besar disebut ibu jari dan bahkan ada teori ekofeminisme yang berbicara tentang relasi perempuan dengan alam dan ada juga sebuah judul lagu “tidak ada perempuan, tidak ada air mata”. Beberapa frasa tersebut menunjukkan betapa Mulianya Perempuan.

Jika perempuan begitu mulia, apakah pantas kekerasan fisik, verbal dan tulis harus terus terjadi kepada perempuan dan kenapa itu bisa terjadi…? Kekerasan kepada perempuan harus dihentikan apapun itu, dengan kembali kepada kearifan lokal sosial budaya komunitas masyarakat adat dan nilai spiritual dalam memandang dan menghormati perempuan. 

Jika diantara kita sebagai kaum yang bukan perempuan, sadar dan tidak sadar atau sengaja dan tidak sengaja pernah melakukan tindakan kekerasan kepada perempuan baik fisik, verbal dan tulis sudah sepatutnya kita sadar, empati dan berpegang kepada kearifan lokal masyarakat adat dalam menghormati perempuan dan nilai spiritual yang terfirman di dalam 1 Petrus 3:7, Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang.

Kesetaraan dan rasa hormat kepada sesama harus diperjuangkan melalui perubahan perilaku dan paradigma berpikir secara fundamental dalam memandang perempuan sebagai pendamping hidup yang sama dimata Tuhan dan berbeda secara kodrat serta panggilan pelayanan hakiki (menjunjung emansipasi perempuan dan kesetaraan gender).

Dijaman yang serba digital informasi begitu cepat dan bahkan ada diujung jari, sudah sepatutnya pikiran dan tangan kita dikendalikan, jika ada masalah personal dihati tidak gegabah mem-publish di media social yang bisa diakses semua orang sehingga harus dipastikan dengan pikiran kita, dan melakukan self risk assessment terlebih dahulu.

Ada lesson learn dalam beberapa hari belakangan ini, dimana ada viral di media social tentang status seseorang yang punya masalah perasaan dan belum mampu berdamai dengan hatinya sehingga ada kekacauan pada hatinya yang tanpa self control sedang memamerkan kacau kepribadian dipandangi oleh banyak pihak, sangat jelas  terbaca dalam tulisnya tentang narasi dan diksinya sedang merendahkan dirinya dihadapan kaum perempuan dan menunjukkan empirisme lain yang tersembunyi padanya, ini semacam protes tak sampai dan memakai alat bantu media untuk menyatakan protes agar dapat keluar dari empirisme yang sedang melanda dirinya.

Mungkin maksud yang bersangkutan baik tetapi isi hatinya di publish pada platform yang bisa diakses semua orang (medsos, android & internet) dengan pilihan kata yang kurang tepat atau kekerasan tulis dalam menjeneralisasikan kaum perempuan tanah (sebutan familiar untuk perempuan asli Papua), sudah tentu ini menjadi protes yang tentu merendahkan martabat perempuan tanah. Jika ini serius diprotes dan digugat yang bersangkutan bisa dilaporkan kepada pihak berwajib (penegak hukum) karena melakukan kekerasan tulisan kepada perempuan tanah seluruhnya dan jika diproses hukum bisa terancam pidana karena ada aspek legal yang sudah menjamin oleh pemerintah melalui UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dari semua persoalan tidak semerta-merta itu buruk dan salah karena dari peristiwa bisa muncul aturan dan kebijakan dengan tujuan baik. Semoga yang bersangkutan dalam permohonan maaf harus dilakukan dengan penuh kerendahan hati dan empati.
Akhir Kata sebagai close statement, Jika idea utama Tuhan menciptakan manusia itu sama di mata-Nya pastikan terpelihara secara berkelanjutan sikap saling menghormati dan menghargai perempuan didalam praktek kehidupan social sehari-hari. 

Best Regards, Bravo Perempuan Tanah....! Created By. Gerry Way




Tidak ada komentar:

Posting Komentar